Beranda Headline

KH. M.Asy’ari : “Esensi Al-Qur’an Dalam Meneropong Realitas Kebangsaan”

Suksesi Nasional, Sumenep – Sebenarnya kalau Al-Qur’an di Fahami secara Teks to Teks (terjemah) Al-Quran menjadi racun, karena tidak difahami secara komprehensif/totalitas (menyeluruh) hingga akhirnya muncul faham ektrim & radikal.

“Al – Qur’an bisa menjadi obat jika teks to content ini yang disebut  (tafsir/interpretasi) memahami Al-Quran bukan sebatas bacaan ritual tapi ada subtansi makna yang harus kita digali dan kaji sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa berimplikasi minimal pada ranah sosial.”tegaskan Guru Besar IAIN Madura, Prof. Dr. KH. M.Asy’ari, M.Ag, Senin (26/07/2021).

Menurutnya, kendatipun ada menurut Ulama yang lebih tinggi dari pada tafsir untuk menggali makna Al-Qur’an yaitu ta’wil dan ini hanya bisa dilakukan oleh ulama yang arrasikhuna fil Ilmi (mendalam keilmuannya) mungkin Ulama-Ulama tataran Wali yang sudah Mukasyafah (terhijab tabir) buat dirinya dengan Allah SWT.

Baca Juga :  Kapolda Jatim Raih Penganugrahan PWI Jatim Award Kategori Tokoh Daerah Bidang Public Health Leaders

Karena itu menurut pria kelahiran Masalembu yang keturunan dari Desa Legung Kecamatan Batang-Batang Kabupaten Sumenep ini hendaknya jadikan momentum Era Pandemi Covid 19 saat ini dengan bersama-sama menghidupkan kembali sprit Al-Qur’an dengan kegiatan kajian tilawah, tahfizh dan tafsir Alternatif dari ayat yang kita baca.

Apalagi tegas ini Ketua Juri Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Virtual Tingkat PCINU Sedunia tahun 2021,ini,Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan kitab suci Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian, seyogyanya ada upaya untuk menjadikan kitab suci ini agar lekat dan dekat di hati masyarakat Muslim dan agar Al-Qur’an ini tidak lagi menjadi kitab sakral yang tidak tersentuh sama sekali oleh bangsa kita.

Baca Juga :  Polda Jatim Turun Gunung Selidiki HGB 656 Hektare di Laut Sidoarjo

“Selain Tilawah dana tahfizh maka Tafsir al-Qur’an seharusnya juga berfungsi sebagai alat penggugah kesadaran manusia khususnya bangsa Indonesia agar menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hidayah”Tandasnya.

Ditambahkan, dalam upaya mengembalikan Al-Qur’an sebagai hudan li al-nass, mufassir kontemporer tidak lagi memahami kitab suci sebagai wahyu yang ‛mati‛ seperti yang dipahami oleh ulama tradisional, melainkan sebagai sesuatu yang ‛hidup‛.

“Al-Qur’an dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari konteks kesejarahan umat manusia.

Al-Qur’an tidak diwahyukan dalam ruang dan waktu yang hampa-budaya, melainkan hadir pada zaman dan ruang yang sarat budaya.”pungkasnya.(ren)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini